Archive for the ‘Al-Masaa’il’ Category

Pembelaan Terhadap Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albany Dari Kedustaan Hasan Ali As-Saqqof


Halaman ke-6 dari 6

Diantara tuduhan as-Saqqof al-Haqid (pendengki) ini terhadap Syaikh al-Albani adalah tadh’if (pendhaifan) yang dilakukan oleh Albani terhadap hadits Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya. Hal yang serupa juga dilakukan oleh seorang pendengki dari Mesir yang bernama Mahmud Sa’id Mamduh asy-Syafi’i al-Mishri yang menulis kitab Tanbihul Muslim ila Ta’addi al-Albani ’ala Shahih Muslim (Peringatan terhadap Muslim terhadap kelancangan Albani terhadap Shahih Muslim), yang merupakan murid dari Syaikh Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari, lawan Albani yang menulis risalah tipis berjudul Al-Qoul al-Muqni’ fir Raddi ’alal Albani al-Mubtadi’ (Perkataan yang terang di dalam membantah Albani si pelaku bid’ah), ia saudara dari Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shidiq al-Ghumari, lawan Albani pula yang menulis buku berbahaya bagi aqidah muslim yang berjudul Ihya’ul Maqbuur min Adillati Istihbaabi Bina’il Masjid wal Qobaab ’alal Qubuur (Menghidupkan pekuburan tentang dalil-dalil disunnahkannya membangun masjid dan kubah di atas kuburan). Dan yang merupakan guru besar bagi keduanya adalah Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Hanafi, seorang pembesar dan fanatikus madzhab Hanafi dan penghulu aqidah asy’ari zaman ini. Dia sangat getol sekali di dalam menyerang dan menghantam aqidah ahlus sunnah atau salafiyah dan para ulamanya. Kefanatikan terhadap madzhabnya sangat dikenal sehingga al-Ghumari sendiri membantah dirinya dalam kitab Bida’u at-Tafasir dan menyatakan bahwa al-Kautsari ini adalah orang yang fanatik buta dan ghuluw pada Imam Abu Hanifah.

Al-Kautsari, tidak jauh beda dengan muridnya, as-Saqqof, sangat membenci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, terutama Syaikhul Islam kedua Ibnul Qoyyim. Mereka menuduh bahwa Syaikhul Islam adalah mujassim dan beraqidah tahayyuz, sehingga mereka memerangi aqidah salafiyah yang mengajarkan kemurnian aqidah. Syaikh Zuhair asy-Syawisy membantah al-Kautsari di dalam hasyiah (foot note) beliau terhadap kitab Syarh Ath-Thohawiyah lil Albani. Samahatus Syaikh al-Allamah Mu’allimi al-Yamani membantah dan membongkar kedok kesesatannya di dalam kitab yang berjudul at-Tanqiil bima fii Ta’nibil Kautsari minal Abathil.

As-Saqqof dan al-Mamduh tidak fair. Mereka menghantam Syaikh al-Albany di dalam beberapa hal pendhaifan beliau terhadap beberapa riwayat Muslim dan Bukhari. Padahal al-Kautsari jauh lebih ekstrim di dalam menolak hadits Bukhari Muslim, yang mana al-Kaustari melakukannya didorong oleh fanatik madzhabiyah. Diantara hadits yg ditolak oleh al-Kautsari adalah :

1. Hadits ”Allah menciptakan debu…” yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang ditolaknya di dalam kitab gelapnya al-Asma’ wash Shifaat. (hal. 26,383).

2. Hadits kisah tentang Musa menyebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kembali kepada Allah pada malam Israa’ tentang kewajiban sholat 50 rakaat, yang muttafaq ’alaihi, namun ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifaat (hal. 189)

3. Hadits tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat yang Muttafaq ’alaihi, ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 292).

4. Hadits tentang hari kiamat bumi akan menjadi dataran putih yang dikeluarkan oleh Bukhari Muslim, ditolaknya dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 320)

5. Hadits tentang ”dimana Allah” kepada seorang budak sahaya wanita yang masih anak-anak yang dikeluarkan oleh Muslim, ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 421)

Dan masih banyak lainnya, dimana al-Kautsari menolaknya tidak dikembalikan kepada ilmu hadits, namun dia menolaknya karena menyelisihi madzhabnya yang asy’ariyah dan madzhab hanafiyahnya. Namun, anehnya… as-Saqqof si pengkhianat ilmiah ini menyembunyikan kebobrokan gurunya, menutup mata darinya dan mencari kesalahan-kesalahan ulama ahlul atsar dikarenakan kebenciannya terhadap ahlul atsar, dan kefanatikannya terhadap madzhabnya dan gurunya yang Jahmiyah.

Al-Albani berkata tentang al-Kautsari di dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyah, setelah membantah murid al-Kautsari yang bernama Abdul Fattah Abu Ghuddah, seorang yang didaulat sebagai ahli hadits oeh Ikhwanul Muslimin yang berakidah sufi dan jahmi (hal. 45) : ”Zahid al-Kautsari dulunya adalah orang yang berada di atas pengetahuan yang dalam terhadap ilmu hadits dan para perawinya, namun sungguh disayangkan, ilmunya menjadi hujjah atasnya (yang melawannya) dan menyedihkan, karena ilmunya tidak menambah hidayah dan cahaya kebenaran baginya, tidak di dalam masalah furu’ tidak pula di dalam masalah ushul. Dia adalah seorang Jahmiyah yang menolak sifat-sifat Allah. Seorang Hanafiyah yang binasa karena kefanatikannya. Dia sangat kasar di dalam menghantam Ahlul Hadits, baik terdahulu maupun yang belakangan. Dia, di dalam masalah aqidah, memberi gelar Ahlul Hadits dengan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tajsim (mengatakan Allah punya jism). Dia gelari mereka (Ahlul Hadits) di dalam muqoddimah Saifus Saqiil-nya sebagai Hasyawiyah Jahil. Dia mengatakan bahwa Kitabut Tauhid Ibnu Khuzaimah adalah buku kesyirikan! Dan ia menuduh Imam Ibnu Khuzaimah sebagai mujassim dan jahil terhadap ushuludin. Di dalam masalah fikih, ia menuduh Ahlul Hadits itu jumud (kaku) dan pemahamannya pendek, dan penyandang kitab-kitab. Di dalam masalah hadits, ia mencerca habis hampir 300 perawi yang mayoritasnya adalah perawi yang tsiqoh dan dhabit. Diantaranya adalah 80 haafizh, dan sejumlah Imam seperti Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Ia menjelaskan bahwa ia tidak menganggap Syaikh Ibnu Hayyan sebagai orang yang tsiqoh, tidak pula al-Khatib al-Baghdadi dan yang semisalnya. Dia juga menyatakan bahwa Imam Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal yang secara sendirian meriwayatkan Musnad (Imam Ahmad) sebagai pendusta. Dan dia menyatakan bahwa Musnad Imam Ahmad tidak dianggap sebagai kitab Musnad yang perlu dirujuk sebagai referensi sebagaimana termaktub dalam kitabnya al-Isyfaq ’ala Ahkamit Thalaq (hal. 23)… dia juga menyatakan dhaif hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, walaupun hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim sekalipun… di sini lain, dia menshahihkan hadits yang mendukung kefanatikannya terhadap madzhabnya, yang mana setiap orang yang memiliki ilmu hadits dapat mempersaksikan kelemahannya ataupun kepalsuannya. Seperti hadits : ”Abu Hanifah adalah pelita ummat ini”, dan perkara lainnya yang tidak mungkin menyebutkan dan memaparkannya semua di sini. Al-Allamah Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani membantah dirinya secara baik dan ilmiah di dalam kitabnya Tali’atut Tankil dan at-Tankil bima fi Ta’nibil Kautsari minal Abaathil, jadi barangsiapa yang menghendaki kebenaran silakan merujuk kepadanya dan ia akan mendapatkan hal yang lebih parah ketimbang apa yang telah disebutkan di sini.”

Al-Ghumari –yang bermadzhab Syafi’i- membantahnya pula di dalam Bid’atut Tafasir (hal. 180-181) yang menyingkap kebatilan al-Kautsari : ”Kita sering menjadi terkagum dengan al-Kautsari di dalam ilmu dan kecermatannya di dalam meneliti sebagaimana kita juga tidak menyukai kefanatikan yang luar biasa terhadap Hanafiyah, kefanatikan yang melebihi fanatiknya Zamakhsyari terhadap Mu’tazilah. Sampai-sampai ke suatu tingkat dimana saudara kami tercinta, al-Hafizh Abul Faidh (Ahmad al-Ghumari, pent.) biasa menyebut dirinya, ”Majnun Abi Hanifah”. Dan ketika aku diberi hadiah bukunya yang berjudul Ihqaaqul Haq yang berhubungan dengan bantahan terhadap risalah Imam al-Haramain yang lebih memilih madzhab Syafi’i, aku melihatnya dia

prev 1 2 3 4 5 6 

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/196/slash/5

Misi Kaum Muslimin Menaklukkan Tanah Palestina


Oleh

Muhammad Ashim Mustofa

Meski penaklukan ini merupakan misi peperangan, akan tetapi dalam Islam peperangan hanyalah alternatif terakhir dalam menegakkan dakwah tauhid. Sebagaimana menurut Syaikh Ali bin Hassan Al-Halabi, ketika menyampaikan ceramah di Masjid Istiqlal Jakarta, 15-Ferbruari-2006M, beliau mengatakan, peperangan dalam Islam bukanlah perang permusuhan, akan tetapi perang penebusan : peperangan untuk menebarkan sendi-sendi kasih sayang. Membunuh musuh bukanlah tujuan utama dan pertama, akan tetapi itu merupakan pilihan terakhir. Tawaran pertama adalah memeluk agama Islam, kedua adalah membayar upeti dan ketiga adalah tidak mengganggu kaum Muslimin

Begitulah cara dakwah yang dilancarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum kuffar, sangat elegan dan beradab. Tak terkecuali, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru para raja dan penguasa di tanah Arab dan sekitarnya, yaitu terlebih dahulu menawarkan Islam, dengan cara mengutus delegasi

Sebagai salah satu contohnya, yaitu ajakan Rasulullah kepada Raja Hiraklius. Sahabat Dihyah mendapat kepercayaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan surat beliau, yang berbunyi.

Bismillahir Rahmanir Rahim

Dari Muhammad utusan Allah kepada Hiraklius, Pembesar Romawi.

Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk.

Sesungguhnya saya menyeru anda dengan misi Islam. Peluklah Islam, niscaya anda akan selamat. Dan Allah memberikan dua pahala bagi anda. Bila anda berpaling, maka anda menanggung dosa orang-orang Arisiyyin.

Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka. Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” [Ali-Imran : 64]

Begitulah, Islam datang saat Palestina dalam genggaman Kerajaan Romawi Nashara. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengirimkan beberapa ekspedisi pasukan untuk menaklukan Palestina, yang dahulu menjadi bagian negeri Syam. Berikut adalah kronologis upaya mengambil tanah penuh berkah tersebut dari tangan Kerajaan Romawi Nashara.

Pengiriman Pasukan Ke Mu’tah Pada Tahun 8H

Yang menjadi penyebab perang Mu’tah [1] ini, karena utusan Rasulullah yang membawa risalah kepada Raja Romawi atau Bashra dibunuh oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani, salah seorang pembesar Romawi. Pengiriman pasukan ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir, tahun 8H. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Al-Haritsah sebagai komandan pasukan. Beliau berpesan, jika Zaid gugur, maka (beralih) ke Ja’far. Bila Ja’far gugur, maka (beralih) ke Abdullah bin Rawahah [2]

Pada penyerangan tersebut, pasukan kaum Muslimin yang dikirim berjumlah 3000 orang. Sementara Raja Hiraklius mempersiapkan 100 ribu pasukan, dengan di dukung oleh Malik bin Zafilah yang membawa 100 ribu orang dari kalangan Nashara Arab.

Melihat kekuatan musuh sedemikian besar, maka kaum Muslimin mengadakan musyawarah, untuk meminta tambahan pasukan kepada Rasulullah.

Abdullah bin Rawahah menggelorakan semangat mereka dengan berkata : “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya yang kalian cari ada di hadapan kalian –yaitu mati syahid-. Kita tidak memerangi dengan dukungan jumlah pasukan atau kekuatan. Kita tidak memerangi mereka kecuali karena agama ini, yang Allah telah memuliakan kita dengannya. Bergegaslah. Akan ada salah satu kebaikan (yang diraih), kemenangan atau mati syahid”.

Orang-orang pun menyetujuinya. Akhirnya, terjadilah peperangan yang sangat dahsyat antara kedua belah pihak

Satu persatu, orang-orang yang ditunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin pasukan menjumpai syahadah di medan perang. Khalid bin Al-Walid lah yang kemudian mengambil alih bendera dan memimpin pasukan kaum Muslimin. Dan Allah memberikan kemenangan bagi kaum Muslimin pada perang ini.

Meskipun terjadi perbedaan besar antara jumlah pasukan kaum Muslimin dan kaum kuffar, tetapi tidak banyak para sahabat yang gugur dalam peperangan tersebut. Berdasarkan keterangan para ahli sirah, mereka menyebutkan, yang gugur kurang lebih sepuluh orang saja. Kemenangan ini menjaga batu loncatan untuk menyerang pasukan Romawi pada masa selanjutnya, dan sangat efektif menggetarkan hati orang-orang kafir tersebut.

Perang Tabuk Tahun 9H

Dalam perang ini, tidak jadi pertempuran. Begitu mendengar kedatangan kaum Muslimin, pasukan Romawi, segera menarik diri sampai ke wilayah Syam. Sehingga kaum Muslimin berada di sana untuk menjalin ikatan perdamaian dengan suku-suku setempat, dengan memberlakukan jizyah pada mereka.

Pengiriman Pasukan Pimpinan Usamah Bin Zaid Tahun 11H

Pengiriman pasukan ini sebagai tindak lanjut pengiriman pasukan sebelumnya yang dipimpin sang ayah Usamah bin Haritsah. Beliau memerintahkan agar pasukan Usamah ini diberangkatkan. Perintah ini terjadi saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada masa-masa wafatnya. Saat pasukan ini sampai di daerah Jurf, terdengar khabar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia. Sehingga untuk sementara misi penyerangan ditunda, sampai kemudian terpilihlah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah. Dan sang Khalifah ini yang kemudian melanjutkan misi tersebut dengan tetap mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan.

Memberangkatkan Pasukan Usamah bin Zaid Ke Syam

Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu selaku khalifah, beliau tetap bertekad merealisasikan pengiriman pasukan Usamah yang sudah dipersiapkan Rasulullah menuju Syam. Dengan berjalan kaki, beliau mengantarkan pasukan ini dan memberikan beberapa pesan kepada sang komandan.

Pasukan Usamah ini bergerak menuju daerah Balqa, yang mencakup Mu’tah. Di sana, pasukan ini memerangi sejumlah orang dari suku Qadha’ah yang murtad, dan berhasil memukul mereka. Setelah tujuh puluh hari sejak pemberangkatannya, pasukan ini kembali ke Madinah.

Pengaruh dari keberhasilan pasukan ini, menyebabkan para musuh merasa gentar dan ketakutan. Mereka tetap meyakini, bahwa kaum Muslimin masih berada dalam kekuatan penuhnya, meskipun Rasulullah telah wafat. Sehingga kaum kuffar mengurungkan niat untuk melakukan penyerangan.

Pasukan Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah Radhiyallahu ‘Anhu.

Setelah menyelesaikan misi pasukan Usamah bin Zaid, selanjutnya Khalifah Abu Bakar juga mengirimkan beberapa pasukan untuk menyerang Syam. Panglima-panglima pasukan yang beliau tunjuk adalah Abu Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Al-Ash dan Syarahbil bin Hasanah. Jumlah pasukan mereka kurang lebih 40 ribu jiwa.

Dalam perjalanan, sebagian pasukan menghadapi serangan dari musuh. Yazid bin Abu Sufyan menghadapi tentara Romawi, dan meraih kemenangan atas musuhnya. Sementara Amr bin Al-Ash dan Syarahbil bin Hasanah menghadapi pasukan Romawi yang lain di Ajnadin Palestina. Mereka berhasil memaksa musuh untuk mundur sampai ke Al-Quds.

Selanjutnya, kaum Muslimin harus menghadapi Romawi yang telah menghimpun pasukan secara besar-besaran, jauh lebih besar dari jumlah pasukan Muslimin di bawah pimpinan saudara Hiraklius, yaitu Theoderik. Jumlah mereka 200 ribu pasukan. Oleh karenanya, Amr bin Al-Ash mengusulkan agar seluruh pasukan kaum Muslimin disatukan di Yarmuk.

Perang Yarmuk Tahun 13H

Begitu Khalifah Abu Bakar mengetahui bahaya yang mengancam dengan besarnya jumlah pasukan musuh, beliau Radhiyallahu ‘anhu memutuskan agar Khalid bin Al-Walid dengan setengah pasukannya yang di Irak, untuk membantu pasukan kaum Muslimin yang berada di Syam. Dengan kegesitan dan kecekatannya, pasukan Khalid bin Al-Walid berhasil melintasi padang pasir ganas dalam waktu yang singkat, kemudian bergabung dengan pasukan Muslimin di Yarmuk. Saat itu, kepemimpinan pun berpusat pada satu orang, yaitu Khalid bin Al-Walid

Peperangan yang sangat hebat ini, juga diikuti oleh tidak kurang seratus sahabat Nabi yang ikut dalam perang Badar. Kaum Muslimin benar-benar menunjukkan keberaniannya untuk berkorban di jalan Allah. Seorang sahabat yang bernama Ikrimah bin Abi Jahal gugur di sana.

Ribuan orang dari kalangan Nashara tewas. Sementara Hiraklius melarikan diri di akhir peperangan, meninggalkan kota Anthakiyah dan Suriah untuk terakhir kalinya. Berita kemenangan kaum Mulimin di Yarmuk, dibarengi dengan wafatnya Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang kemudian digantikan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu

Penaklukan Damaskus Tahun 14H

Abu Ubaidah bermusyawarah dengan Khalifah Umar, mengenai tujuan penaklukan selanjutnya, Damaskus ataukah wilayah Yordania. Sang Khalifah mengisyaratkan untuk mengarahkan pasukan ke Damaskus terlebih dahulu. Maka, kaum Muslimin mengepung kota tersebut selama enam bulan. Khalid menyerang melalui sisi timur. Sementara Abu Ubaidah berhasil memasukinya dengan jalan damai dari sisi Jabiyah. Dan akhirnya kaum Muslimin berhasil menaklukannya.

Selanjutnya, kaum Muslimin dengan dipimpin Syarahbil bin Hasanah menuju kota Fahl, dan berhasil memukul mundur pasukan Romawi

Penaklukan Kota Himsh, Humat, Ladziqiyah Dan Halab

Abu Ubaidah dan pasukan bergerak menuju Himsh dan mengepungnya. Jalan perdamaian menjadi akhir peperangan ini. Begitu pula, kota Humat dan Halab, masuk dalam pangkuan Islam melalui cara damai. Sementara Ladziqiyah, terpaksa ditaklukkan dengan jalan kekerasan. Setelah penduduknya memilih cara itu.

Penaklukan Kota Anthakiyah

Anthakiyah, adalah ibukota Imperium Romawi di wilayah timur. Heraklius telah meninggalkannya. Maka, Abu Ubaidah mengepungnya dan takluk melalui jalan damai.

Sementara itu, Amr bin Al-Ash mulai merangsek menuju bumi Palestina. Setelah kekalahan di Ajnadin, komandan Romawi mundur dan berlindung di benteng-benteng Baitul Maqdis. Kaum Muslimin membidik kota-kota yang berada di pantai Rafah. Begitu pula dengan Ghaza, Nablus, Amwas, Yafa berhasil ditaklukan oleh kaum Muslimin.

Baitul Maqdis Berada Dalam Kekuasaan Kaum Muslimin

Setelah itu, Amr bin Al-Ash menuju wilayah Baitul Maqdis dan mengepungnya dalam jangka waktu yang lama. Tatkala penduduk Baitul Maqdis mengetahui batapa kuatnya pengepungan yang dilakukan kaum Muslimin, dan sebaliknya betapa lemahnya mereka untuk menghalau kaum Muslimin, lantaran wilayah-wilayah di pantai telah ditaklukkan, maka mereka mengajukan perdamaian. Dengan syarat, agar Khalifah Umar sendiri yang menanganinya. Maka beliau datang dan menulis ketetapan perdamaian bagi Al-Quds dan menerima kunci-kuncinya.

Demikianlah, penaklukan Syam berhasil tuntas di masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab.

Maraji.

[1]. Ashrul Khilafatir-Rasyidah, Dr Akram Dhiya Al-Umari, Maktabah Al-Obaikan. Cet. III, Th. 1422H

[2]. Al-Khulafaur Rasyidin wad Daulatul Umawiyah, Wizarah Ta’lim Ali. Cet V/Th.1413H

[3]. Al-Jihad an Nabawi fi Fhilasthin, Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr, Majalah Al-Ashalah. Edisi 30, Th V.

[4]. Mukhtashar Siratir Rasul, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, tahqiq Hana Muhammad Jazamati Darul Kitabi Arabi, Beirut, Libanon, cet VI dan Th 1421H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Footnotes

[1]. Sekarang Mu;tah masuk wilayah Yordania

[2]. HR Al-Bukhari no. 4260-4261

[3]. Ashrul khilafatir Rasyidah, hal. 370-375

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2429/slash/0

Tidak Ada Istilah Kulit Dalam Agama


Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana hukum syari’at tentang orang yang mengatakan bahwa mencukur jenggot dan memendekkan pakaian merupakan kulit dan bukan dasar agama, atau tentang orang yang menertawakan orang yang melakukannya ?

Jawaba.

Ungkapan ini sangat berbahaya dan merupakan kemungkaran yang besar. Tidak ada istilah kulit dalam agama, tapi semuanya adalah isi, kebaikan dan perbaikan. Agama terbagi menjadi pokok dan cabang. Masalah jenggot dan memendekkan pakaian merupakan masalah cabang, bukan pokok, namun demikian, tidak boleh menyebut sesuatu di antara perkara-perkara agama sebagai kulitnya. Dikhawatirkan orang yang mengatakan ungkapan semacam itu akan terjebak ke dalam pengurangan dan olokan sehingga menyebabkan keluar dari agama. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah, Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok ? Tidak usah kamu minta ma’af, karena kamu kafir sesudah beriman”. [At-Taubah : 65-66]

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memelihara jenggot, membiarkannya tumbuh dan menyuburkannya serta memotong kumis dan memendekkannya. Yang seharusnya adalah mentaatinya dan mengagungkan perintah dan larangannya dalam segala perkara. Abu Muhammad Ibnu Hazm menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat bahwa memelihara jenggot dan memotong kumis termasuk perkara yang diperintahkan. Adalah kebinasaan dan kerugian serta akibat yang buruk bagi yang bermaksiat terhadap Allah dan RasulNya. Begitu pula meninggikan pakaian hingga di atas mata kaki, merupakan perkara yang diperintahkan, berdasarkan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Bagian yang melebihi mata kaki yang tertutup pakaian, maka termpatnya di neraka”. [Hadits Riwayat Al-Bukahri dalam Shahihnya, kitab Al-Libas 5787]

Juga berdasarkan sabdanya.

“Artinya : Tiga golongan yang Allah tidak berbicara kepada mereka di hari kiamat, tidak pula memandang kepada mereka serta tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih : Yang mengungkit-ngungkit pemberian dan yang mempromosikan barang dagangannya dengan sumpah palsu”.[Hadits Riwayat Muslim dengan Shahihnya, kitab Al-Iman 106]

Beliau juga bersabda.

“Artinya : Allah tidak akan memandang kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong”. [Muttafaq Alaih : Al-Bukhari dalam kitab Al-Libas 5783, Muslim dalam kitab Al-Libas 2085]

Seharusnya seorang muslim bertakwa kepada Allah, meninggikan pakaiannya, baik itu gamis, kain atau celana, dan tidak melebihi mata kakinya. Yang lebih utama adalah antara pertengahan betis dan mata kaki. Jika isbal (melabuhkan ujung pakaian melebihi mata kaki) itu dilakukan dengan rasa sombong, maka dosanya lebih besar lagi. Jika dilakukan karena meremehkan, bukan karena sombong, maka ia seorang yang mungkar dan berdosa, tapi dosanya tidak seperti orang yang sombong. Tidak diragukan lagi, bahwa isbal bisa menjadi sarana menuju kesombongan, walaupun pelakunya mengatakan bahwa ia melakukannya bukan karena sombong. Lain dari itu, karena ancaman yang tersebut dalam sejumlah hadits bersifat umum. Dari itu tidak boleh meremehkannya.

Adapun kisah Abu Bakar As-Shiddiq Radhiyallahu anhu yang berkata kepada kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya salah satu ujung kainku melorot, kecuali bila aku memeganginya”

Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena rasa sombong”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Libas 5784]

Demikian ini yang terjadi pada Ash-Shiddiq, ia selalu menjaganya dan berusaha menepatinya. Sedangkan orang yang sengaja mengulurkan pakaiannya (hingga melebihi mata kakinya), ia tercakup dalam ancaman tersebut, tidak seperti Ash-Shidiq. Tentang isbal ini, di samping adanya ancaman sebagaimana yang telah disebutkan di atas tadi, ada keburukan lainnya, yaitu berlebihan, mudah terkena kotoran dan najis serta menyerupai wanita. Semua ini wajib dihindari oleh setiap muslim. Hanya Allahlah yang kuasa memberi petunjuk dan hanya Dia-lah petunjuk kepada jalan yang benar.

[Majalah Ad-Da’wah, nomor 1608, Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1391/slash/0

Kami Tidak Mentahdzir Masyaikh, Namun Kami Mentahdzir Penyelenggara Daurah Adalah Hizbi


Oleh

Syaikh DR Muhammad bin Musa Alu Nashr

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi

Kata Pengantar

Berikut ini merupakan nasehat Syaikh Ali Hasan al-Halabi dan Syaikh Muhammad Musa Nashr -hafizhahumallahu wa nafa’allahu bihima- kepada salafiyin dan orang-orang yang terpengaruh dengan manhaj Haddadiyin yang mereka sampaikan di “National Salafee Conference 2004” Brixton tahun kemarin. Sengaja, kami menterjemahkan nasehat mereka karena keadaan dakwah salafiyah di Inggris, dan belahan dunia negeri lainnya (inna lillahi wa inna ‘ilaihi raji’un) tidaklah jauh berbeda dengan negeri kita ini.

Masih membekas “Dauroh Ilmiyah fi Masa`ilil Ilmiyyah wal Manhajiyah” yang diadakan oleh Ma’had Ali Al-Irsyad yang digagas oleh Fadhilatul Ustadz Abu Auf Abdurrahman bin Abdil Karim at-Tamimi as-Salafi dan asatidzah salafiyah lainnya, ditahdzir dan dijarh oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, para pendengki dan barisan sakit hati yang terpengaruh dengan manhaj Haddadiyah al-Halikah (yang membinasakan)

Semoga nasehat syaikh Ali Hasan dan syaikh Muhammad Musa Nashr ini, dapat menjadi air segar dan embun yang sejuk, yang dapat membasahi dan mendinginkan hati kita agar lebih istiqomah di jalan dakwah salafiyah, yang terbebas dari hizbiyah, harokiyah, terutama sururiyah dan haddadiyah… Semoga kita terhindar dari manhaj tamyi’ dan ghuluw, dari sikap tasaahul dan tasyadud, semoga dakwah kita bisa menjadi dakwah yang mubarokah, yang menegakkan hujjah dan bayan dengan hikmah sehingga ummat mau menerimanya, bukan dakwah yang syiddah dan anfah (bengis) yang hanya mampu membawa kepada tanfir (larinya ummat) dari kebenaran… Semoga Allah melindungi kita dari manhaj yang rusak dan binasa, manhajnya haddadiyah al-maqitah yang membawa bencana kepada fitnah ikhtilaf dan iftiroq, ashobiyah syakhshiyah (fanatik kepada perseorangan) dan tabdi’ (memvonis mubtadi’), tajrih (mencela), tahjir (mengisolir/memboikot) serta muqotho’ah (memutuskan hubungan silaturrahim) yang kini menjangkiti sebagian saudara-saudara kita salafiyin, Allahu yahdihim!!!

Pertanyaan.

Apa yang kita katakan kepada mereka yang mentahdzir dauroh ini (“The National Salafi Conference 2004” di Brixton) yang mana mereka mengatakan bahwa “kami tidak mentahdzir masyaikh namun kami mentahdzir Masjid dan panitia yang mengorganisir Dauroh, karena mereka adalah hizbi?”

Jawaban.

[1]. Syaikh DR Muhammad bin Musa Alu Nashr

Ini saatnya bagi seorang Muslim untuk berfikir dengan akalnya dan menggunakan akalnya secara baik dan meninggalkan taklid. Suatu hal yang membuat saya heran adalah, apakah kalian mempercayai bahwa orang-orang yang terlibat dengan hizbiyah akan mencintai ulama dan murid-murid mereka? Apakah mereka akan mengundang murid-murid yang telah belajar kepada ulama-ulama besar ini, supaya hadir dan memberikan ceramah? Apakah kalian mempercayai hal ini?? Hal ini adalah dua hal yang saling berlawanan yang tidak mungkin dapat bersama.

Jika kalian katakan bahwa saudara-saudara yang mengorganisir Dauroh ini (ikhwan dari Masjid al-Ghuroba, Luton, Inggris, pent) memiliki kehizbiyahan tertentu, maka jelaskan pada kami dan kepada mereka, karena agama ini berdasarkan di atas nasihat yang tulus. Apakah kita tidak seharusnya melaksanakan apa yang diwasiatkan Allah kepada kita, yaitu untuk saling berwasiat kepada kebenaran dan saling berwasiat di atas kesabaran? Dan saling mengajak kepada kebenaran dan kesabaran daripada bersembunyi di balik tembok?

Ini adalah suatu musykilah (problema), setelah malam berganti siang, tidaklah mungkin menuduh seseorang sebagai hizbiyah tanpa bukti, dan ucapan ini sangat jauh dari adanya bukti, tidak ada bukti pada ucapan mereka! Dan kita -alhamdulillah- adalah orang yang paling berhasrat menyingkirkan hizbiyah dan memeranginya dengan segala hal yang mampu kita lakukan. Kita telah dikenal dengan (sikap seperti ini terhadap hizbiyah) dan kita tidak dikenal sebagai orang yang menggadaikan agama kita dan bekerjasama dengan mereka (hizbiyun).

Jawaban

[2]. Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi

Tahun kemarin, tuduhan ini sedikit berbeda. Tahun kemarin yang terjadi adalah masyaikh, Lajnah (panitia) yang mempersiapkan dauroh dan Masjid seluruhnya adalah hizbi. Tahun ini, ada suatu hal yang agak sedikit berbeda, dimana masyaikh tidak lagi hizbi, namun Masjidnya masih hizbi. Tahun kemarin kami hadir, beberapa orang bahkan tidak mau mengucapkan salam kepada kami. Kami datang menempuh perjalanan dari jarak yang jauh dan waktu yang lama, untuk menghadiri, memberikan ceramah dan ambil bagian di Dauroh ini. Mereka mengatakan kepada kami, bahwa kami bingung terhadap dakwah dan kami kami tidak jelas (manhajnya), namun kami adalah orang yang… kami di sini tidak bermaksud memuji diri kami sendiri namun ini adalah perkataan yang benar, bahwa setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menanamkan akar dakwah (salafiyah) pada negeri ini lebih dari 10 tahun yang lalu, dan bahkan kami telah datang ke sini semenjak itu.

Apa yang menyebabkan mereka merubah tuduhan mereka? Dengan satu alasan, yaitu bahwa bangunan mereka mempunyai suatu kelemahan, bangunan tersebut tidak begitu kuat sebagaimana kami datang sebelumnya. Nasehat kami kepada mereka adalah, takutlah kepada Allah terhadap diri mereka sendiri dan terhadap saudara mereka. Duduklah kalian sejenak dan muhasabahlah, karena hati seorang hamba berada diantara dua jari jemari ar-Rahman. Serigala akan memangsa domba yang tersesat dari kawanannya.

Jadi… yang tampak dari pertanyaan ini adalah, mereka telah melihat orang-orang yang hadir pada dauroh tahun ini, dan kenyataannya bahwa orang-orang yang hadir di dalam dauroh ini tidak mampu ditampung oleh Masjid, sehingga rasa dengki dan hasad memasuki hati mereka, dan mereka menuduh ikhwan yang mengatur dauroh ini adalah hizbiyah.

Yang seharusnya kita lakukan adalah, kita harus meyakinkan supaya hati kita terikat dengan para masyaikh salafiyah. Orang-orang seperti ini (yang menuduh) suatu hari akan dipermalukan atau jika Allah menghendaki, mereka akan bergabung dengan kita di jalan dakwah. Segala hal yang telah kami ucapkan ini, tidak berarti bahwa kita tidak dapat memberikan nasehat dan kritik yang membangun, kritik yang akan memperbaiki hubungan dan orang-orang yang kita berhubungan dengannya.

Kita semua ini adalah manusia dan kita semua berbuat kesalahan, namun menuduh seseorang tanpa ada bukti, maka tuduhan tak berdasar tidaklah diterima di dalam agama. Kami telah katakan berulang kali, supaya tidak (meniti) kepada jalan ini, manhaj ini dan orang yang mempraktekan manhaj atau jalan ini, dia tidaklah menghancurkan seorangpun melainkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita harus menutup pintu dari mentalitas yang seperti ini, jika seseorang menyimpang ke kanan atau ke kiri maka dia harus diluruskan, namun tidak dengan manhaj dan jalan ini.

Kami tidak dapat menggunakan manhaj kaum sufi dan mengatakan bahwa hatiku meriwayatkan kepadaku yang bersumber dari tuhanku bahwa fulan dan fulan adalah begini… karena yang demikian ini bukanlah manhaj kita, tanpa dasar dan tanpa bukti menuduh orang sesuatu yang tidak benar. Kebenaran itu lebih besar dari seorangpun diantara kami dan setiap orang harus saling mengingatkan satu dengan lainnya dengan cara terbaik dan menyeru lainnya kepada hal tersebut. (selesai)

[Sumber http://abusalma.blogspot.com/2005/06/nasehat-syaikh-ali-hasan-dan-syaikh.html%5D

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/254/slash/0

Kapan Awal Mula Kuburan Rasulullah Dimasukkan Kedalam Kawasan Masjid Nabawi


Oleh

Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Al-Bidayah wan Nihayah (9/73) sehubungan peristiwa tahun 88H : “Ibnu Jarir[1] menyebutkan bahwa pada bulan Rabi’ul Awwal dari tahun tersebut, datang surat Al-Walid (yang menjabat Khalifah saat itu) kepada Umar bin Abdul Aziz (sebagai gubernur Madinah) yang isinya memerintahkan beliau agar masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam direhab dan direnovasi, dan ruangan-ruangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditambah dan diperluas dari sisi Kiblat atau depan masjid, serta seluruh sisi-sisinya, sehingga ukurannya menjadi dua ratus meter persegi nantinya. Siapa yang menjual tanah atau bangunan miliknya kepada anda hendaklah dibeli, karena jika tidak maka dihargai dengan harga yang seadil-adilnya, lalu dirubuhkan dan dibayarkan kepada mereka harga bangunan atau rumahnya tersebut. Sesungguhnya anda dalam masalah ini memiliki landasan, yaitu seperti yang pernah dilakukan para pendahulu anda, yaitu Umar dan Utsman.

Lalu Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan orang-orangnya, para fuqaha yang sepuluh dan masyarakat Madinah, lalu beliau membacakan surat Amirul Mukminin tersebut. Akan tetapi mereka merasa berat melaksanakannya, mereka berkata : “Ruangan-ruangan ini atapnya pendek dan terbuat dari pelepah kurma, dindingnya dari batu bata dan pintunya terdapat permadani dari bulu yang kasar. Jadi membiarkan masjid dalam bentuk seperti ini lebih baik. Orang-orang yang menunaikan haji, para musafir dan peziarah dapat menyaksikan serta melihat-lihat rumah-rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga merekapun bisa mengambil manfaat dan pelajaran darinya, semua ini lebih mengajak untuk zuhud di dunia. Mereka tidak merehabnya kecuali sebatas yang mereka butuhkan, yaitu sekedar melindungi mereka dari terik dan panas. Serta agar mereka mengetahui bahwa bangunan yang tinggi merupakan pekerjaan raja-raja Fir’aun dan kekaisaran Persia. Semua yang panjang angan-angan akan menginginkan dunia dan berharap kekal di dalamnya”.

Seketika itu, maka Umar bin Abdul Aziz mengirim surat balasan kepada Al-Walid yang isinya menjelaskan kesekapakan para fuqaha yang sepuluh tersebut. Tetapi Al-Walid megirim utusan yang memerintahkan beliau untuk merombak dan membangun kembali masjid seperti yang diinginkan sebelumnya serta atap-atapnya ditinggikan, maka mau tidak mau, Umar bin Abdul Aziz merombaknya. Ketika mereka memulai perombakan, para tokoh dan pemuka masyarakat Bani Hasyim dan yang lainnya berteriak, mereka menangis seperti hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan para pemilik bangunan di sekitar masjidpun menjual bangunannya. Pekerjaan akhirnya dimulai dengan cepat dan sungguh-sungguh, serta menyingsingkan lengan dan baju dengan dibantu banyak pekerja yang dikirim Al-Walid. Maka kamar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk di dalamnya, kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha, termasuk kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya masuk dalam kawasan masjid. Ukuran akhirnya dari timur sampai kamar-kamar isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diperintahkan Al-Walid.

Diriwayatkan, ketika mereka menggali dinding pembatas sebelah timur dari kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha, tiba-tiba muncul sebuah kaki. Mereka pun khawatir jangan-jangan itu kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga akhirnya mereka yakin kalau itu kaki Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

Diceritakan bahwa Sa’id Al-Musayyib tidak mau menerima jika kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dimasukkan ke dalam masjid, seakan beliau khawatir jika makam dijadikan masjid.

Sampai di sini kutipan dari Al-Bidayah wan Nihayah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalah kitab Al-Jawabul Bahir (hal.71) : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dan kamar tersebut serta kamar-kamar isteri-isteri Rasulullah yang lain berada di sisi timur masjid, kiblat dahulunya tidak masuk dalam kawasan masjid, bahkan berada di luar antara kamar dan masjid. Akan tetapi pada pemerintahan Al-Walid, masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperluas, Al-Walid gemar merenovasi dan membangun masjid. Beliau memperluas Masjidil Haram, Masjid Damasyqus dan yang lainnya. Beliau memerintahkan wakilnya di Madinah (Umar bin Abdul Aziz) membeli rumah-rumah dari pemiliknya, yang sebelumnya mewarisinya dari isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menambahkannya ke dalam masjid. Sejak itu rumah-rumah tersebut masuk dalam kawasan masjid. Hal tersebut terjadi setelah beberapa sahabat wafat ; setelah wafatnya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri serta Aisyah, bahkan setelah wafatnya mayoritas para sahabat dan tidak tersisa satupun dari mereka di Madinah saat itu.

Diriwayatkan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib mengingkari hal ini, juga umumnya sahabat dan tabiin mengingkari apa yang dilakukan Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau membangun masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan batu dan kayu jati, begitu pula ketika Al-Walid melakukan hal yang sama. Adapun Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, beliau memperluasnya tetapi dengan batu bata (seperti saat Rasulullah membangunnya) tiang-tiangnya dari batang kurma, dan atapnya dari pelepah kurma. Tidak diriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang mengingkari kebijakan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yang ada adalah ketika Utsman Radhiyallahu ‘anhu melaksanakan kebijakan beliau tersebut, maka terjadi perselisihan pendapat di kalangan para sahabat”.

Beliau rahimahullahu melanjutkan : “Adalah Al-Walid bin Abdul Mulk menjabat khalifah setelah wafatnya ayah beliau (Abdul Mulk) pada tahun delapan puluhan hijriyah, ketika para sahabat (di Madinah) tersebut sudah meninggal seluruhnya. Juga sebagian besar sahabat di seluruh kawasan dan penjuru sudah meninggal, dan sedikit sekali yang masih hidup seperti Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah, beliau Radhiyallahu ‘anhu meninggal di zaman kekhalifahan Al-Walid, pada tahun sembilan puluhan hijriyah. Begitu pula Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu yang meninggal pada tahun 78H di Madinah, dan beliau sahabat yang paling akhir meninggal di Madinah. Adapun Al-Walid, beliau memasukkan rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh setelah itu, sekitar sepuluh tahun, dan pembangunan masjid dilakukannya setelah Jabir Radhiyallahu ‘anhu wafat, hingga tidak ada satupun dari para sahabat yang masih hidup di Madinah saat itu”.

Beliau rahimahullahu menyinggung pula masalah ini dalam kitab yang lain Ar-Raddu ‘Alal Ikhna’i (hal. 119) dan Iqtidha’ush Shiraathal Mustaqim (hal. 367). Demikian yang disebutkan oleh para ahli sejarah seperti dalam Umdatul Al-Akhbar (hal.108), Tahqiqun Nushrah bi Talkhishi Ma’alimi Daril Hijrah oleh Al-Maraghi (hal. 49) dan Wafa’ul Wafa (jilid pertama hal, 513) oleh As-Samhudi.

Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa Al-Walid rahimahullahu telah salah ketika beliau memasukkan kamar-kamar ini ke dalam masjid Nabawi. Beliau telah melanggar larangan Rasulullah yaitu menjadikan makam sebagai masjid dan shalat menghadapnya, karena siapa yang shalat di tempat yang sebelumnya diperuntukkan bagi para sahabat Ahlush Shuffah pasti menghadap ke makam, sebagaimana yang kita saksikan. Begitu pula para wanita, mereka dalah shalatnya di masjid Nabawi menghadap ke kuburan. Wajib bagi kaum muslimin untuk mengembalikannya seperti semula (berada di sisi timur) sebagaimana di zaman Rasulullah, karena sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari kitab edisi Indonesia Bantahan terhadap Musuh Sunnah, Penulis Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Penerjemah Munawwir A Djasari, Penerbit Pustaka Azzam, Pebruari 2003]

Foote Note

[1]. (8/65) dari Tarikh beliau

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2204/slash/0

Penjarahan Hajar Aswad


Oleh

Ustadz Ashim bin Musthafa

Kota Mekkah, dengan kemuliaan yang disandangnya, ia memiliki hukum-hukum yang telah ditetapkan syari’at, sebagai bukti yang menunjukkan kemuliaannya. Siapapun dilarang melakukan perbuatan maksiat. Meski larangan ini telah jelas, ternyata dalam perjalanan sejarah kaum Muslimin, khususnya kota Mekkah dan Ka’bah, pernah terjadi pelanggaran yang sangat memilukan dan menodai Ka’bah secara khusus, yaitu terjadinya penjarahan Hajar Aswad.

Hajar Aswad merupakan batu termulia. Dia berasal dari Jannah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Hajar Aswad turun dari Jannah, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adamlah yang membuatnya sampai berwarna hitam” [1].

Tentang keutamaannya yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya batu ini akan punya lisan dan dua bibir akan bersaksi bagi orang yang menyentuhnya di hari Kiamat dengan cara yang benar” [2].

Dari Ibnu ‘Umar, saya mendengar Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan menghapus dosa”.[3]

Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun 317H, pada masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid dengan cara mencongkel dari tempatnya, Hajar Aswad kini menjadi delapan bongkahan kecil. Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan Ka’bah.

Adalah Abu Thahir, Sulaiman bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh golongan Qaramithah pada masanya, telah menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan dan peperangan terhadap kaum Muslimin. Kota yang suci, Mekkah dan Masjidil Haram tidak luput dari kejahatannya. Dia dan pengikutnya melakukan pembunuhan, perampokan dan merusak rumah-rumah. Bila terdengar namanya, orang-orang akan berusaha lari untuk menyelamatkan diri.[4]

Kisahnya, pada musim haji tahun 317H tersebut, rombongan haji dari Irak pimpinan Manshur ad Dailami bertolak menuju Mekkah dan sampai dalam keadaan selamat. Namun, tiba-tiba pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah), orang-orang Qaramithah (salah satu sekte Syiah Isma’iliyah) melakukan huru-hara di tanah Haram. Mereka merampok harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya. Banyak jamaah haji yang menjadi korban, bahkan, meskipun berada di dekat Ka’bah.

Sementara itu, pimpinan orang-orang Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir –semoga mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah– berdiri di pintu Ka’bah dengan pengawalan, menyaksikan pedang-pedang pengikutnya merajalela, menyudahi nyawa-nyawa manusia. Dengan congkaknya ia berkata : “Saya adalah Allah. Saya bersama Allah. Sayalah yang menciptakan makhluk-makhluk. Dan sayalah yang akan membinasakan mereka”.

Massa berlarian menyelamatkan diri. Sebagian berpegangan dengan kelambu Ka’bah. Namun, mereka tetap menjadi korban, pedang-pedang kaum Syi’ah Qaramithah ini menebasnya. Begitu juga, orang-orang yang sedang thawaf, tidak luput dari pedang-pedang mereka, termasuk di dalamnya sebagian ahli hadits.

Usai menuntaskan kejahatannya yang tidak terkira terhadap para jamaah haji, Abu Thahir memerintahkan pasukan untuk mengubur jasad-jasad korban keganasannya tersebut ke dalam sumur Zam Zam. Sebagian lainnya, di kubur di tanah Haram dan di lokasi Masjidil Haram.

Kubah sumur Zam Zam ia hancurkan. Dia juga memerintahkan agar pintu Ka’bah dicopot dan melepas kiswahnya. Selanjutnya, ia merobek-robeknya di hadapan para pengikutnya. Dia meminta kepada salah seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka’bah dan mencabut talang Ka’bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut terjatuh dan mati seketika. Abu Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang Ka’bah. Kemudian, ia memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Seorang lelaki memukul dan mencongkelnya.

Dengan nada menantang, Abu Thahir sesumbar : “Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari Neraka Sijjil?”

Peristiwa penjarahan Hajar Aswad ini, membuat Amir Mekkah dan keluarganya dengan didukung sejumlah pasukan mengejar mereka. Amir Mekkah berusaha membujuk Abu Thahir agar mau mengembalikan Hajar aswad ke tempat semula. Seluruh harta yang dimiliki Sang Amir telah ia tawarkan untuk menebus Hajar Aswad itu. Namun Abu Thahir tidak bergeming. Bahkan Sang Amir, anggota keluarga dan pasukannya menjadi korban berikutnya. Abu Thahir pun melenggang menuju daerahnya dengan membawa Hajar Aswad dan harta-harta rampasan dari jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa pulang ke daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.

Menurut Ibnu Katsir, golongan Qaramithah membabi buta semacam itu, karena mereka sebenarnya kuffar zanadiqah. Mereka berafiliasi kepada regim Fathimiyyun yang telah menancapkan hegemoninya pada tahun-tahun itu di wilayah Afrika. Pemimpin mereka bergelar al Mahdi, yaitu Abu Muhammad ‘Ubaidillah bin Maimun al Qadah. Sebelumnya ia seorang Yahudi, yang berprofesi sebagai tukang emas. Lantas, mengaku telah masuk Islam, dan mengklaim berasal dari kalangan syarif (keturunan Nabi Muhammad). Banyak orang dari suku Barbar yang mempercayainya. Hingga pada akhirnya, ia dapat memegang kekuasan sebagai kepala negara di wilayah tersebut. Orang-orang Qaramtihah menjalin hubungan baik dengannya. Mereka (Qaramithah) akhirnya menjadi semakin kuat dan terkenal.

Perbuatan Abu Thahir al Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini, oleh Ibnu Katsir dikatakan : “Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya”. [5]

Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan. Tetapnya pada tahun 339H.

Pada saat mengungkapkan kejadian tahun 339 H, Ibnu Katsir menyebutnya sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan Dzul Hijjah tahun tersebut, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula. Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat menggembirakan segenap kaum Muslimin.

Pasalnya, berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan. Amir Bajkam at Turki pernah menawarkan 50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar Aswad. Tetapi, tawaran ini tidak meluluhkan hati Abu Thahir, pimpinan Qaramithah saat itu.

Kaum Qaramithah ini berkilah : “Kami mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan mengembalikannya berdasarkan perintah orang yang bersangkutan”.

Pada tahun 339 H, sebelum mengembalikan ke Mekkah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufah, dan menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang dapat menyaksikannya. Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan : “Kami dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami mengembalikannya dengan perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar”.

Akhirnya, Hajar Aswad dikirim ke Mekkah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai di Mekkah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 339H.[6]

Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa onta. Punuk-punuk onta sampai terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat dikembalikan hanya membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan. (Mas)

Maraji’ :

– Shahih Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun.

– Shahih Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H.

– Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H.

– Al Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H.

– Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali Barnawi, Mekkah Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H.

– Shahih Sunan at-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif.

– Shahih Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah al Ma’arif.

– Shahihul-Jami’ wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktab Islami, Cet. III, Th. 1408.

– Taisiril Karimir-Rahman, Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H.

– Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Footnotes

[1]. Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877.

[2]. HR al Hakim dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami’, no. 2184.

[3]. Hadits shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.

[4]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/187.

[5]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192.

[6]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/265.

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2580/slash/0

Menjawab Tuduhan Batil Terhadap Dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab


Halaman ke-1 dari 3MENJAWAB TUDUHAN BATIL TERHADAP DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB

Oleh

Abul Harits as-Salafy

Sudah menjadi adat dan kebiasaan firqoh-firqoh sesat untuk memusuhi dan memfitnah kepada pembela dakwah yang haq, yang menyeru manusia kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah rasul-Nya. Abdul Qodim Zallum rahimahullahu, salah satu tokoh Hizbut Tahrir dengan bangga mengatakan dalam bukunya yang berjudul Kaifa Hudimat Khilafah (dalam versi Indonesianya berjudul Konspirasi Barat meruntuhkan Khilafah Islamiyah, hal. 5), sebagai berikut : “Inggris berupaya menyerang negara Islam dari dalam melalui agennya, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Gerakan Wahhabi diorganisasikan untuk mendirikan suatu kelompok masyarakat di dalam negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin Saud dan dilanjutkan oleh anaknya, Abdul Aziz. Inggris memberi mereka bantuan dana dan senjata.”…..

Pada halaman selanjutnya dia mengatakan : “Telah diketahui dengan pasti bahwa gerakan Wahhabi ini di provokasi dan didukung oleh Inggris, menginggat keluarga Saud adalah agen Inggris. Inggris memanfaatkan madzhab Wahhabi, yang merupakan salah satu madzhab Islam dan pendirinya merupakan salah seorang mujtahid.”

Subhanallah ini adalah sebuah kedustaan dan fitnah, serta kezholiman terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab qoddasallahu ruuhahu yang mana hal ini tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang benci terhadap Islam, benci terhadap Firqotun Najiyah, dan benci akan tersebarnya dakwah salafiyyah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ingatlah akan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Isra’ ayat 36.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” [Al-Isra : 36]

Dan yang paling mengherankan lagi, orang-orang Hizbut Tahrir menolak khabar ahad / hadis ahad dalam masalah aqidah, walaupun hadis itu shohih dari Rasulullah karena hal itu tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, dan ketika dalam masalah/perkara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka (Seperti kedustaan mereka atas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), dengan penuh keyakinan dan kebanggaan mereka menerima khabar ahad walaupun itu berasal dari seorang orentalis, sekaligus agen Inggris yang bernama Mr. Hamver yang juga seorang pendusta. Untuk lebih jelasnya mengenai siapa Hamver, marilah kita ikuti penjelasan Syaikh Malik Bin Husain dalam majalah Al-Asholah edisi ke 31 tertanggal 15 Muharram 1422 H, beliau berkata :

“Saya telah meneliti kitab yang beracun dengan judul Mudzakkarat Hamver dan nama Hamver ini tidak asing lagi. Pertama kali aku membacanya di Majalah Manarul Huda, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Maktabah al-‘Alaami yang staf redaksinya dari Jam’iyyah Al-Masyaari’ al-Khairiyyah Al-Islamiyyah pada edisi 28, Ramadhan 1415 H/1995. Majalah ini dikeluarkan oleh Jama’ah Al-Ahbasy, sebuah Jama’ah Sufiyyah berpangkalan di Yordania dan selalu memusuhi dakwah salaf dan para ulama’nya, dan mereka mendapat bantuan dana dari orang-orang Yahudi dalam operasionalnya.

Setelah saya membaca makalah ini, jiwaku terdorong untuk membaca kitab mudzakkarat mata-mata/intel Inggris ini, hingga aku mengetahui sampai sejauh mana kebenaran yang dinisbatkan kepada Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab ini. Ketika selesai membaca mudzakkarat ini, telah jelas bagiku bahwa itu merupakan sebuah dusta dari asalnya, dan Hamver ini adalah seorang yang asalnya tidak ada, lalu diada-adakan. Maka dari itu saya ingin menjelaskan kepada saudara-saudara sekalian tentang hal yang telah saya dapatkan dari peneletianku terhadap mudzakkarat ini, dalam rangka membela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dan juga dapat pembelaan terhadap kaum muslimin dari tikaman orang-orang ahlul bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :

“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” [Al-Anbiya’ : 18]

Dan dalam ayat lain Allah berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu”

Pada ayat ini ada pelajaran ilmiyah bagi kelompok orang-orang mukmin, yang menjaga agamanya dan menjaga hubungan persaudaran antar sesama muslim, dengan mencari kejelasan (tatsabut) terhadap semua berita miring yang dilontarkan untuk memecah belah barisan kaum muslimin.

Akan senantiasa terus menerus musuh-musuh dakwah (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah-) berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan dakwah ini, yang tidak ada di dalamnya keilmiahan sedikitpun melainkan hanya kebohongan dan kedustaan, laa haula wala quwwata illa billah. Wahai para pencari kebenaran, risalah-risalah dan kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- telah tercetak, diantaranya adalah seperti dibawah ini :

Al-Aqidah satu jilid, Fiqih dua jilid, Mukhtasor Siroh Nabi, kumpulan fatwa-fatwa satu jilid, tafsir dan Mukhtasor Zaadul Ma’ad satu jilid, Rosail Sakhshiyaah satu jilid, Kitab Hadits lima jilid, Mulhaq dan Mushonnafat satu jilid. Jadi kesemuanya 12 jilid yang telah dikumpulkan oleh Lajnah Ilmiyah yang khusus menangani masalah ini dan berasal dari Jaami’ah (Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah), yang dikumpulkan serta diverifikasi oleh DR. Abdul Aziz bin Zaid Ar-Ruumi, DR. Muhammad Biltaaji dan DR. Sayyid Hijab, serta di cetak di Riyadh.

Maka barangsiapa yang ingin mencari kebenaran, hendaknya ia membandingkan ucapan Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dengan ucapan musuh-musuh beliau. Karena kitab-kitabnya dan risalah-risalahnya telah tercetak. Kalau ada sesuatu yang benar dari kitab-kitab dan risalah-risalah beliau kita terima, dan kalau ada sesuatu yang salah maka kita tolak, dan kita tidak fanatik kepada seseorang siapapun dia, kecuali Rasulullah yang mana beliau tidak berkata dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.

Adapun kalau kita bersandar perkataan seorang Nasrani yang kafir yang tidak dikenal, yang gemar minum minuman keras sampai mabuk, bahkan dia menyebut kalau dirinya seorang pembohong. Maka keadaan kita persis seperti apa yang digambarkan oleh syair dibawah ini :

Barangsiapa yang menjadikan seokor burung gagak sebagai dalil (hujjah)

Maka dia (burung gagak) akan membawanya melewati bangkai-bangkai anjing

Bagaimana tidak, padahal yang telah jelas dari risalah-risalah dan bantahan-bantahan Al-Imam –rahimahullah- bahwasanya, di dalamnya ada penafian (penolakan) terhadap apa-apa yang dikaitkan dengan dakwah beliau yang berupa tuduhan-tuduhan, dan kedustaan-kedustaaan yang tidak pernah beliau ucapkan, bahkan beliau mengingkarinya, dan berulang-ulang beliau mengatakan : “Hadza buhtanun azhim (ini adalah suatu kedustaan yang besar)”.

Semoga Allah merahmati Imam Adz-Dzahabi yang mengatakan : “dan Kami belum pernah menjumpai yang demikian itu dalam kitab-kitabnya”. Ketika itu Syaikh Adz-Dzahabi menceritakan beberapa perkara yang dinukil oleh sebagian mereka yang dengannya Imam Ath-Thabari menjadi tertuduh.”

Dan saya (syaikh Malik) katakan : Sesungguhnya apa-apa yang disebutkan dalam mudzakkarat Hamver adalah omong kosong belaka, dan perkataan yang tidak berlandaskan dalil sama sekali. Dan hal ini tidaklah keluar kecuali dari dua macam manusia :

[1]. Orang yang bodoh kuadrat, tolol tidak bisa membedakan antara telapak tangannya dengan sikunya.

[2]. Orang yang memperturutkan hawa nafsu, ahlul bid’ah dan musuh dakwah tauhid.

Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya daging para ulama itu beracun, barangsiapa yang mencela para ulama’ maka Allah akan mengujinya sebelum ia mati dengan kematian hatinya. Kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselematan.

1 2 3  next

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/827/slash/0

Hukum Penisbatan Diri Kepada Atsar


Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

Segala puji bagi Allah dan sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada keluarga, sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau.

Sebagian ikhwan telah bertanya kepadaku –semoga Allah memberi balasan kebaikan kepada mereka- tentang hukum penisbatan diri kepada Sunnah atau Atsar?

Semua itu dikarenakan adanya ucapan dari ahli ilmu yang dipahami melarang akan hal tersebut.

Maka saya katakan –dengan memohon taufik dari Allah-:

Sesungguhnya penisbatan kepada Atsar merupakan penisbatan yang sudah ada sejak zaman dahulu (suatu hal yang telah turun temurun/warisan) diterima oleh kalangan ahli ilmu.

Berkata As-Sam’ani (meninggal tahun 562H) dalam kitabnya Al-Ansab 1/136 : Penisbatan kepada Atsar yaitu hadits dan mencari ilmu hadits serta mengikuti hadits.

Dan bait syair pertama di dalam Al-Alfiyah Al-Haditsiyyah yang telah masyhur oleh Al-Hafidh Al-Iraqi (meninggal tahun 806H), beliau berkata :

Abdurrahim bin Al-Husain Al-Atsari yang mengharap (ampunan) Rabbnya yang Maha Kuasa berkata :

Al-Hafidh As-Sakhowi (meninggal tahun 902H) mensyarah bait atas dalam kitab Fathul Mughits 1/3 dengan perkataan beliau : Penisbatan kepada Atsar, para ulama menisbatkan diri mereka kepadanya dan sebagian mereka yang mengarang kitab dalam bidang tersebut telah menisbatkan kepadanya dengan baik.

Apabila kalian tidak bisa persis seperti mereka, maka samailah mereka, sesungguhnya menyamai orang yang mulia merupakan suatu keberuntungan.

Jika seandainya penisbatan kepada madzhab-madzhab atau profesi atau negara atau gelar-gelar diperbolehkan, maka penisbatan kepada Sunnah dan hadits serta Atsar lebih utama untuk diterima.

Syaikh kami Al-Albani rahimahullahu menyindir sebagian penuntut ilmu, yang menyelisihi Sunnah dan mengubah manhaj ahli sunnah, namun disisi lain salah seorang dari mereka menggelari dirinya dengan Atsari. Sedangkan dia dari Atsar dan Sunnah berjauhan. Maka penisbatan itu batil, menyelisihi hakekat sebenarnya. Syaikh rahimahullah membantah terhadap sebagian para penulis muda yang menyelisihi sunnah dan kebenaran, namun dirinya menisbatkan kepada Atsar dalam rangka ikut-ikutan dan untuk menipu (orang awam). Beliau berkata : “Al-Atsari adalah mode zaman ini”.

Pengingkaran syaikh kami adalah benar, pengingkaran tersebut ditujukan kepada yang menisbatkan (orangnya), bukan terhadap apa yang dinisbatkan, karena beliau berkata setelah itu untuk membantah orang yang menisbatkan kepada Atsar tersebut, dan untuk menyingkap hakekat sesungguhnya : “Ketika ia mengira barangsiapa yang tidak mengikuti perkatannya… bahwa dia seorang salafi atsari seratus persen, padahal sesungguhnya ia seorang kholafi mu’tazili (lawan salafi) dari para pengekor hawa nafsu”

Beliau membolehkan penisbatan tersebut, seperti orang-orang sebelum beliau dan para imam dan ulama.

Apa yang dinisbarkan kepada salaf (salafi) pada dasarnya sama dengan apa yang dinisbatkan kepada atsar (atsari), keduanya sama.

Yang semisal dengan hal diatas adalah pembedaan antara para dai yang sebenarnya dan orang-orang yang hanya mengaku, Al-Allamah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullahu ketika ditanya tentang penamaan As-Salafi, Al-Atsari, apakah ini termasuk tazkiyah/rekomendasi?

Maka Samahatusy Syaikh rahimahullah menjawab :

“Apabila benar adanya bahwa dia Atsari atau Salafi maka tidak masalah, seperti yang diucapkan oleh ulama terdahulu, fulan Salafi, fulan Atsari, ini merupakan rekomendasi yang diharuskan dan wajib”.

Adapun yang dinukil oleh sebagian saudara kita yang difahami darinya bahwa ada yang menyelisihi dalam hal ini, dan ini dinukil dari Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan –semoga Allah memberi kita manfaat darinya-, maka yang benar dalam hal ini –insya Allah- apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Majmu Fatawa 4/149 beliau berkata :

“Bukan suatu aib bagi seorang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan dirinya kepada salaf serta bangga dengan salaf, bahkan wajib menerima hal ini sesuai dengan kesepakatan (para ulama), karena madzhab salaf tidaklah kecuali benar”.

Jika penisbatan tersebut selaras antara dhohir dan batinnya maka hal ini setara dengan kedudukan seorang mukmin yang berada diatas kebenaran secara dhohir dan bathin.

Namun jika dhohirnya saja tanpa bathinnya, maka hal ini kedudukannya sama dengan munafiq, maka kita terima apa yang nampak dari hal tersebut dan kita serahkan yang tidak tampak kepada Allah, karena kita tidak diperintahkan untuk menghukumi apa yang ada di hati manusia.

Ini sesuai dengan perkataan para imam dan ulama antara satu dengan lainnya dan menyelisihi perkataan selain mereka, dari orang-orang yang tidak faham perkataan para imam dan ulama, maka renungkanlah.

Untuk mendapatkan faidah lebih lanjut akan hal ini lihatlah Al-Lubab 1/28 oleh Ibnu Atsir, Siyar A’lam An-Nubala 18/510, 1/475 oleh Adz-Dzahabi, Taudhilul Musytabah 1/122 oleh Ibnu Nashiruddin Ad-Damasyqi, Lawami’ul Al-Anwar Al-Bahiyyah 1/64 oleh As-Safarini dan selainnya.

[Dialih bahasakan oleh Abdurrahman Thoyyib As-Salafy Lc, dari http://www.alhalaby.com]

[Disain dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol.5 No. 4 Edisi 28 Rabi’ul Awwal 1428H. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya, Alamat Redaksi Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya, Telp. 031-37311969]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2175/slash/0

Imam Ja'far Ash-Shadiq Rahimahullah, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi'ah


Oleh

Muhammad ‘Ashim bin Musthafa

Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini, termasuk yang dicatut oleh ahli bid’ah (baca: Syi’ah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini orang-orang Syi’ah.

Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.

Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya.

Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma’shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al ‘Ishmah (ma’shum) hanyalah milik Nabi.

Imam Ja’far ash Shadiq dikarunia beberapa anak. Mereka adalah: Isma’il (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), ‘Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al Kazhim [1], Ishaq, Muhammad, ‘Ali dan Fathimah.

Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati.

Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.

Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.

Imam Ja’far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as Sa’idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi’in ‘Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, ‘Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan ‘Abdullah bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.

Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.

Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu ‘Amr bin al ‘Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syu’bah bin al Hajjaj, Sufyan bin ‘Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.

Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.

Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Ja’far ash Shadiq.

Abu Hanifah berkata,”Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.”

Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta’dil (2/487) berkata,”(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.”

Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan : “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah”. (Lihat Minhaju as Sunnah, 2/245).

Demikian sebagian kutipan pujian dari para ulama kepada Imam Ja’far ash Shadiq.

Adapun Syi’ah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja’far ash Shadiq. Golongan Syi’ah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah.

Sebut saja, sikap Imam Ja’far ash Shadiq terhadap Abu Bakr dan ‘Umar bin al Kaththab. Kecintaannya terhadap mereka berdua tidak perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah teman dekat kakek (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan sebagai penggantinya.

‘Abdul Jabbar bin al ‘Abbas al Hamdani berkata,”Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata,’Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.”

Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar, ia berkata,’Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.”

Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syi’ah yang menjadikan celaan dan makian kepada Abu Bakr, ‘Umar, dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah.

Imam Ja’far ash Shadiq, sangat tidak mungkin mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah, Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr. Apabila mereka adalah paman-pamannya, dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari dua sisi, maka sulit digambarkan, jika Ja’far bin Muhammad -yang jelas berilmu, berpegah teguh dengan agamanya, dan ketinggian martabatnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi- melontarkan cacian dan celaan terhadap kakeknya, Abu Bakr ash Shiddiq. Ja’far sendiri berkata : “Abu Bakar melahirkan diriku dua kali”.

Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan keteguhan agama dan ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya untuk mencaci-maki orang yang tidak pantas menerimanya.

Pada masanya, bid’ah al Ja’d bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad menyatakan: “Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”[2]. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syi’ah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk.

Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja’far ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan RasulNya.

Ibnu Taimiyyah berkata,”Syi’ah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti ‘Ali bin al Husain Zainal ‘Abidin, Abu Ja’far al Baqir, dan putranya, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan ‘Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi n), tidak ada yang mengakui para imam dua belas ma’shum, atau mencela Abu Bakr dan ‘Umar.”

Tokoh-tokoh Syi’ah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, Sunnah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mu’tazilah. Mereka (kaum Mu’tazilah) itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al ‘adl”.

Klaim kaum Syi’ah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari Ja’far ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada orang-orang yang mulia itu.

Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau, yaitu ucapan “taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku”. Orang Syiah menjadikannya sebagai prinsip aqidah mereka.

Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Ja’far ash Shadiq akan kekal abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan yang parah. Kematian adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada orang, baik dari kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa hidup abadi di dunia ini.

Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Ja’far ash Shadiq. Para ulama telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka saja, tidak sampai dibukukan.

Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat.

Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), ‘Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A’dha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya.

Golongan Syi’ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja’far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja’far ash Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja’far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja’far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja’far ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja’far ash Shadiq.

Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja’far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi’ah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul Musta’an.

Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan:

“Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja’far al Baqir, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya”.

Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162).

[Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab al Munazharah (Munazharah Ja’far bin Muhammad ash Shadiq Ma’a ar Rafidhi fi at Tafdhili Baina Abi Bakr wa ‘Ali), karya Imam al Hujjah Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, tahqiq ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz al ‘Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh, Cet. I, Th. 1417 H].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Footnote

[1]. Oleh Syi’ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi’ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma’iliyah tentang imam setelah Ja’far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma’il yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bid’ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.

[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Ja’far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2611/slash/0

Yahudi Bukan Israil


Oleh

Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid

Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.

Jika seseorang menyebut Israil, maka kata ini selalu disandingkan dengan Yahudi. Ini terjadi di banyak kalangan dari media, forum diskusi, bahkan majlis-majlis ta’lim, tak urung para pembicara tidak membedakan antara Yahudi dengan Israil. Seakan dua kata ini memiliki terminologi yang sama. Yahudi adalah Israil, dan Israil adalah Yahudi. Padahal penisbatan Yahudi kepada Israil merupakan kekeliruan !. Lantas, bagaimana kedua hal ini bisa disebut berbeda?

Berikut ini kami sampaikan penjelasan mengenai perbedaan ini, menurut pandangan Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid dan Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.

Tersebut di dalam kitab Mu’jam Manahil Lafzhiyah, Darul Ashimah, Cetakan III, Tahun 1413H halaman 93-94, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid mengatakan :

Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud memiliki sebuah risalah yang berjudul Al-Ishlahu wat-Ta’dilu Fiima Thara-a Ala Ismil Yahudi wan Nashara Minat Tabdil. Di dalam kitab tersebut terdapat tahqiq yang menyinggung, bahwa Yahudi telah terlepas dari Bani Israil. Yakni sebagaimana terpisahnya Nabi Ibrahim Alaihissalam dari bapaknya, Azar. Kekufuran itu telah memutuskan loyalitas antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir, sebagaimana diceritakan dalam kisah antara Nabi Nuh Alaihissalam dengan putranya.

Oleh karena itu, keutamaan-keutamaan yang pernah dimiliki Bani Israil pada zaman dahulu, sedikitpun tidak ada yang dimiliki kaum Yahudi. Karenanya, justru penyematan nama Bani Israil untuk menyebut kaum Yahudi, akan menjadikan mereka meraih keutamaan-keutamaan, dan keburukan mereka pun tertutupi. Demikian ini berakibat hilangnya perbedaan antara Bani Israil dengan Yahudi sebagai kaum yang dimurkai Allah Azza wa Jalla dan dihinakan dimanapun mereka berada.

Begitu pula, tidak boleh mengganti nama Nashara menjadi Al-Masihin, yaitu menisbatkan kepada pengikut Nabi Isa Al-Masih. Ini merupakan nama baru yang tidak ada dasarnya dalam sejarah, dan tidak juga dalam perkataan para ulama. Karena orang Nashara telah mengganti dan menyelewengkan kitab Alla Azza wa Jalla, sebagaimana kaum Yahudi telah melakukannya terhada din (agama) Nabi Musa Alaihissalam. Memberi nama kepada mereka dengan Al-Masih, tidak memiliki dasar hujjah. Kepada mereka Allah Azza wa Jalla hanya memberikan nama Nashara, bukan Al-Masihin.

Kemudian, kekufuran kaum Yahudi dan Nashara terhadap syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka menjadi musabab penyebutan atas diri mereka sebagai kafir. Allah berfirman.

“Orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik, (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” [Al-Bayinnah : 1]

Jadi sesungguhnya, Yahudi adalah nama bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Nabi Musa Alaihissalam. Adapun yang beriman, mereka itulah yang disebut Bani Israil. Karena itu, orang-orang Yahudi (sendiri) merasa tidak senang (jika) disebut dengan nama Yahudi.

Adapun Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman menuliskan di catatan kaki kitab beliau, As-Salafiyun wa Qadhiyatu Filasthina, Markaz Baitul Maqdis, Cetakan I, Tahun 1423H, halaman 12-13, sebagai berikut :

Penamaan ini, -yaitu menamakan Yahudi dengan nama Israil- merupakan kemungkaran. Telah meluas di tengah masyarakat di negeri Muslim sebuah perkataan yang berkonotasi celaan “Israil melakukan ini dan itu, dan akan melakukan tindakan ini dan itu”, padahal Israil itu, merupakan salah seorang Rasul Allah (utusan Allah), yaitu Nabi Ya’qub Alaihissalam. Dan beliau Alaihissalam, sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan negara yang senang berbuat makar dan keji ini. Antara para nabi dan rasul, sama sekali tidak ada saling waris-mewarisi dengan orang-orang kafir, musuh mereka. Yahudi, sama sekali tidak memiliki hubungan din (agama) dengan Nabi Allah, Israil.

Penamaan seperti ini, memberikan dampak buruk pada pemahaman diri kita. Allah dan para rasul-Nya tidak akan pernah meridhainya, terutama Nabi Israil Alaihissalam. Karena Yahudi adalah kaum kafir dan pembohong. Menyematkan nama ini kepada mereka mengandung pelecehan terhadap Nabi Israil Alaihissalam. Dan yang wajib adalah mencegah penamaan itu.

Dalam Shahih Bukhari no. 3533, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tidakkah kalian merasa heran, bagaimana Allah mengalihkan celaan dan kutukan orang kafir Quraisy dariku. Mereka hanya mencela orang yang tercela, dan mengutuk orang yang tercela. Sedangkan aku, tetap Muhammad (terpuji)”

Dan kewajiban kita –minimal- membuat mereka gusar dengan penyematan nama Yahudi pada mereka, karena mereka membenci nama ini dan senang dengan penisbatan palsu kepada Nabi Ya’qub Alaihissalam. Mereka, sedikitpun tidak mendapatkan keutamaan maupun kemuliaannya.

Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud memiliki sebuah risalah yang sudah dicetak di Qathar, tahun 1398H, dengan judul Al-Ishlahu wat-Ta’dilu Fiima Thara-a Ala Ismil Yahudi wan Nashara Minat Tabdil..

Tentang masalah ini juga, coba lihat Muja’mul Manahil Lafzhiyah (44), karya Syaikh Bakar Abu Zaid, majalah kami Al-Ashalah, Edisi 32, Tahun ke-6, Tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1422H, halaman 54-57, makalah Syaikh Rabi’ bin Hadi, Hukmu Tasmiyati Daulati Yahuda bi Israil. Peringatan dalam masalah ini, juga saya temukan dalam kitab Khurafatu Yahudiyah, karya Ahmad As-Syuqairi, halaman 13-30, dengan judul Lastum Abna-u Ibrahima, Antum Abna-u Iblisa.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2430/slash/0